Aspek ajaran islam tentang Tasawuf
PENDAHULUAN
Ditengah-tengah
situasi masyarakat yang cenderung mengarah kepada dekadensi moral seperti yang
gejala-gejalanya mulai tampak saat ini, dan akibat negatifnya mulai terasa
dalam kehidupan. Terjadinya praktik pengguguran kandungan , pembunuhan ,
penipuan penyalahgunaan narkoba , perilaku menyimpang dan lain sebagainya
adalah bermula dari kekotoran jiwa manusia, yaitu jiwa yang jauh dari bimbingan
Tuhan, yang disebabkan ia tidak pernah mencoba mendekati-Nya. Tasawuf mulai
mendapat perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif
mengatasi masalah-masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah ini tasawuflah yang
memiliki potensi dan otoritas, karena didalam tasawuf dibina secara intensif
tentang cara-cara agar seorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya .
Dengan cara demikian ia akan malu berbuat menyimpang, karena merasa
diperhatikan oleh Tuhan.
Menyadari
bahaya tersebut, selanjutnya umat islam harus introspeksi diri dengan membangun
kembali etos kerja yang dipandu oleh akhlak yang mulia yang dibangun melalui
tasawuf. Namun keadaan ini terjadi secara tidak seimbang . Kaum muslimin tampak
lebih menangkap aspek ritualisme lahiriyahnya dari tasawuf tersebut, asyik
dalam zikir dan wirid, tanpa memberi pengaruh kedalam gerakan social
kemasyarakatan. Mereka malah menjauhi masyarakat, tidak perduli terhadap
lingkungan dan akhirnya keadaan umat islam semakin mundur.
Dalam keadaan
demikian wajar jika kemudian tasawuf dituduh sebagai biang keladi terjadinya
keadaan dimana umat islam semakin terpuruk kedalam kemunduran. Namun,
belakangan muncul upaya reinterpretasi kembali terhadap istilah istilah tasawuf
untuk dipahami, dihayati dan diamalkan. Dimensi spritualitas dan dinamikanya
sehingga ia menjadi motor penggerak terjadinya perubahan social yang mengarah
pada terwujudnya keagungan Tuhan.
Demikian
pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka
tidak mengherankan apabila tasawuf demikian akrab dengan kehidupan masyarakat
islam, setelah masyarakat tersebuut membina akidah dan ibadahnya, melalui ilmu
tauhid dan ilmu fiqih.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun lahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Dengan demikian dari segi kebahasan
tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa,
mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sedehana, mengutamakan kebenaran,
dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap
demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal
yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Jika dilihat dari segi istilah tasawuf
pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan diri dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah,
sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia.
Tasawuf secara hakiki memasuki
fungsinya dalam meningkatkan kembali manusia, siapa ia sebenarnya, yang berarti
manusia dibangun dari mimpinya yang ia sebut kehidupannya sehari-hari dan bahwa
jiwanya bebas dari pembatasan-pembatasan penjara khayali egonya itu yang
memiliki timbangan objektif didalam apa yang disebut kehidupan dunia menurut bahasa
keagamaan.
B. Sejarah Munculnya Tasawuf
Dr. Ahmad Ghalwasy
berkata: “banyak orang yang menanyakan penyebab tidak munculnya ajakan tasawuf
pada masa awal islam, dan tidak muncul ajakan itu kecuali setelah masa para
Sahabat dan tabi’in; dan jawabannya adalah: tasawuf tidak dibutuhkan pada masa
awal, karena kaum muslimin pada saat itu adalah ornag-orang yang bertaqwa dan
wara’i (menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan syubhat). Memiliki hasrat untuk
bermuajahadah dan menerima ibadah secara ilamiyah. Dan memiliki hubungan yang
dekat dengan Rasulullah Saw, maka mereka saling mendahului dan bersaing dalam
mengikuti semua jejaknya.
Para Sahabat dan
tabi’in merupakan sufi sejati meskipun tidak dinamai demikian. Dan apa yang
dikehendaki dengan tasawuf adalah kehidupan seseorang yang lebih banyak
diabdikan kepada Allah sebagai tuhannya, bukan kepada dirinya sendiri, dihiasi
dengan zuhud dan selalu beribadah, menerima Allah Swt. dengan ruh dan hati
disetiap waktu.
Berkaitan dengan munculnya Tasawuf terdapat berbagai teori
yang dimajukan para ahli. Sebagian ada yang berpendapat, bahwa tasawuf lahir
dari luar islam, dan sebagian ada yang berpendapat bahwa tasawuf lahir dari
kalangan islam sendiri.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar
islam berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang
menjauhi dunia dan kesenangan materiil. Ada pula yang mengatakan, bahwa tasawuf
timbul atas pengaruh ajaran-ajaran hindu. Disebut pula bahwa tasawuf berasal
dari filsafat Phytagoras dengan ajarannya untuk meninggalkan kehidupan materiil
dan memasuki kehidupan kontenplasi. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam
islam atas pengaruh filsafat Plotinus. Menurut Plotinus, roh memancar dari zat
tuhan dan kemudian akan kembali kepada tuhan. Tetapi dengan masuknya roh ke
dalam materi, maka ia menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat aslinya,
ia harus terlebih dahulu disucikan. Tuhan maha suci dan yang maha suci tidak
didekati kecuali oleh orang yang suci. Penyucian roh terjadi dengan meninggalkan
hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri kepada tuhan sedekat mungkin.;
kalau bisa bersatu dengan tuhan semasa berada dalam hidup duniawi ini. Upaya
ini dapat dilakukan dengan tasawuf.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf muncul dari dasar
ajaran islam sendiri, antara lain terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadist.
Didalam Al-Qur’an ayat 186 surat al baqarah misalnya, telah terdapat ayat yang
menggambarkan tentang kedekatan manusia dengan tuhan yang berbunyi:
Artinya: “Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”.
C. Maqamat-Maqamat
Dalam Tasawuf
Yaitu Tasawuf yang
menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa
masalah akhlaq, antara lain:
1) Taubat
Taubat adalah berpaling dari apa
yang tercela menuju kepada apa yang terpuji menurut syariat. Dalam banyak ayat
Allah telah menyuruh kaum mukminin untuk bertaubat, menjadikannya sebagai sebab
kebahagiaan didunia dan diakhirat. Allah berfirman “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Rasulullah senantiasa memperbarui
taubat dan memperbanyak istigfar untuk mengajarkan umatnya dan
mensyariatkannya. “Dari al-Aghar bin Yasar al-Muzni ra, dia berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: Hai manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah
ampun kepada-Nya, sesungguhnya aku bertaubat seratus kali dalam sehari”. Imam
Nawawi berkata : Taubat dari segala dosa
adalah wajib, jika maksiat antara seorang hamba dan antara Allah SWT. Tidak
terkait dengan hak anak adam (manusia),
maka ada tiga syarat: menjauhi maksiat, menyesali perbuatannya dan bertekat
untuk tidak mengulanginya lagi selamanya”. Termasuk dari syarat-syarat taubat
adalah berusaha meninggalkan keburukan apapun, menjauhi orang-orang fasik yang
senantiasa menganjurkan orang kepada maksiat dan menyebabkannya menjadi tidak
ta’at kepada Allah SWT.
Seorang sufi tidak berhenti hanya
pada taubat dari maksiat, sebab dalam pandangannya hal itu adalah taubatan
orang-orang awam, bahkan dia bertaubat dari segala sesuatu yang dapat
memalingkan hati dari menyebut Allah Swt. (berdzikir), hal ini diisyaratkan
oleh seorang sufi besar, Dzu al-Nun al-Mashri ra. Ketika ditanya tentang
taubat, dia menjawab: orang-orang awan bertaubat dari dosa-dosa, orang-orang
khawash bertaubat dari kelalaian”. Abdullah al-Tarmimi ra. Berkata: “ada dua
hal antara orang bertaubat dengan orang bertaubat….ada yang bertaubat dari
dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, ada yang bertaubat dari
penyimpangan-penyimpangan serta kelalaian-kelalaian, da nada yang bertaubat
dari melihat kebaikan-kebaikan dan ketaatan-ketaatan.
Ketahuilah bahwa seorang sufi setiap
kali memperbaiki ilmunya mengenai Allah Swt, dan memperbanyak amal kebaikannya,
maka taubatnya semakin dalam,; baranmg siapa yang hatinya bersih dari dosa-dosa
serta noda-noda, dan cahaya-cahaya kasih sayang memancar padanya, dan tidak
akan merasa khawatir hatinya akan dimasuki oleh penyakit-penyakit yang samar,
dan apapun yang akan mengeruhkan kemurnbian ketika kesalahan-kesalahan membimbangkannya,
ketika itu jua dia akan langsung bertaubat karena malu kepada Allah Swt. Yang
melihatnya.
2) Sabar
Didefinisikan oleh Sayyid
al-Jurjain, bahwa sabar ialah: meninggalkan keluh kesah, dari kepahitan cobaan
yang menimpa, kepada selain Allah”. Para ulama menyebutkan bahwa sabar itu
mempunyai pembagian yang sangat beragam dan semuanya kembali bertemu dalam tiga
macam berikut ini:
o sabar dalam keta’atan, yaitu beristiqomah dalam menjalani
syariah Allah serta berusaha untuk selalu membiasakan sejumlah inadah, harta,
jasmani, dan hati. Juga berusaha untuk selalu amar ma’ruf nahi mungkar dan dan
selalu bersikap sabar atas musibah yang menimpanya. Seperti dalam firman Allah
yaitu:
Artinya: “Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
(QS. Luqman; 17)
o sabar dari maksiat, yaitu
memerangi hawa nafsu agar tidak terperosok kedalam maksiat itu, memerangi agar
tidak menyeleweng kepadanya, serta mematahkan hal-hal yang dapat membuatnya
terpuruk dalam keburukan dan kerusakan yang digariskan oleh syaitan. Allah
berfirman:
Artinya: “Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)”. (QS.
Al-Nazi’at; 40-41)
o sabar dalam
kemalangan yang menimpa, yaitu kesadaran bahwa dunia ini adalah tempatnya
cobaan dan tempaan, maka Allah menguji iman hambanya (Allah Maha mengetahui
terhadap hambanya ) dengan berbagai macam kemalangan. Allah menguji para mukmin
dengan berbagai macam cobaan untuk mengetahui mana yang baik serta berharga dan
mana yang buruk; siapa yang munafik dan siapa yang mukmin sejati. Allah
berfirman:
Artinya: “Dan sungguh
akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar. (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". mereka Itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah; 155-157)
Tentunya, seorang mukmin yang sejati akan menerima segala
cobaan dengan sabar dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah karena ia
menyadari bahwa segala kemalangan yang menimpanya adalah untuk melebur dan
menebus dosa dan kesalahannya.
3)
Wara’i
Secara harfiah al-Wara’i artinya soleh, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa. Sayyid al-Jurjani mendefinisikan wara’i dengan: “menjauhi
sesuatu yang samar-samar hukumnya karena takut terjerumus dalam hal-hal yang
diharamkan”
Sebagaimana yang di sabdakan Rasulullah Saw dalam hadist
yang artinya: “barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka
sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram”. (HR. Bukhari)
4)
Zuhud
Zuhud adalah mengosongkan hati dari hal-hal yang bersifat
keduniaan dan keinginan untuk memiliki hal tersebut, sembari mengisinya dengan
kecintaan kepada Allah dan ketersingkapan pengetahuan tentang-Nya. Seberapa
besar ia meninggalkan hal-hal keduniaan sebesar itu pula Allah menambahkan
kecintaanya kepadanya. Oleh karena itu, para kaum makrifat menganggap bahwa
zuhud adalah sebuah media untuk sampai kepada Allah.
Menurut para sufi zuhud adalah merupakan salah satu pokok
ajaran penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan kehidupan akhirat dari pada kehidupan
duniawi semata karena kehidupan dunia tidak akan kekal. Sebagai mana Allah
berfirman:
Artinya: Katakanlah:
"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS.
Annisa; 77)
5)
Syukur
Menurut kaum sufi, syukur adalah bersimpuhnya hati untuk
mencintai Allah yang memberi nikmat; ketundukan segenap anggota tubuh untuk
berlaku ta’at kepada-Nya, dan lisan yang tak henti-hentinya berzikir dan memuji
kepada-nya.
Sedangkan menurut allama Ibn’Alan al-Shiddiqi, syukur
adalah: “mengakui terhadap segenap nikmat Allah dan berkhidmat kepada-Nya. Dan
barang siapa memperbanyak melakukan itu maka ia disebut dengan syakuur (orang
yang sangat bersyukur).
Syukur termasuk diantara maqamat yang paling tinggi karena
ia mengikutkan hati, lisan, dan segenap anggota tubuh dan juga karena ia
meliputi kesanggupan untuk bersabar, ridla, dan memuji serta memperbanyak
beribadah jasmani dan rohani. Seperti dalam firman Allah yaitu:
Artinya: “Karena itu,
ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. al-Baqarah; 152)
Seseorang yang bersyukur pada dasarnya melakukan kebaikan
bagi dirinya sendiri, karena sikap syukurnya itu dapat membuat nikmat
yangdiperoleh semakin bertambah.
6)
Tawakal
Tawakal adalah salah satu dari buah keimanan dan
ketersingkapan pengetahuan Allah yang luar biasa. Ia juga merupakan sebab yang
paling penting yang dapat menjadikan orang meraih kebahagian dan kedamaian. Hal
ini didasari secara seksama oleh para kaum sufi dan mengerti benar bahwa
tawakal lantas menyebabkan orang untuk tidak melakukan usaha, ikhtiar, akan
tetapi fungsi tawakal itu hanyalah pemusatan untuk menaruh harapan hanya kepada
Allah, berserah kepada kehendak-Nya dan hikmah-Nya tanpa menaruh ketergantungan
kepada usaha dan ikhtiar karena hanya dengan mengandalkan ikhtiar dan usaha
taka da nilainya sama sekali dimata Allah Swt. Allah berfirman:
Artinya: “Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. ath Thalaaq; 3)
Demikianlah kaum sufi meraih derajat tawakal dalam derajat
yang paling tinggi. Hati mereka merasa damai terhadap Allah Swt, menaruh
kepercayaan penuh kepada-Nya, selalu menggantungkan diri kepada-Nya karena taka
da wujud yang abadi kecuali hanya Allah. Namun, meskipun demikian perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya dengan berpegang teguh pada syari’at-Nya dan
meneladani petunjuk Nabi.
7)
Ridla
Menurut Allama Birkawi, ridla adalah: “hati yang baik
ketrika menerima kemalangan dan menjalani dengan apa adanya tanpa ada keinginan
untuk merubah”. Sedangkan menurut syaikh ibn’Atha’al-Sikandari, ridla adalah:
“menyadari dengan sepenuh hati bahwa segala putusan Allah atas hambanya itu
telah ada semenjak dulu. Dengan demikian ia tak lagi memprotes”.
Dengan demikian, ridla adalah maqamat hati yang lebih tinggi
dan lebih agung daripada maqamat sabar, karena ridla adalah hal-ihwal yang
berhubungan dengan kedamaian jiwa, dimana ketika seseorang telah berhasil
meraih kedudukan itu maka ia akan dapat menerima segala macam kemalangan yang
dasyat dengan iman yang teguh, hati yang tenang dan tentram.
D. Tokoh-Tokoh Ilmu Tasawuf
1.
Al-Hasan Al-Basri
Al-hasan Al-Basri lahir di
Madinah (642 M) dan meninggal di Bashrah (728 M). Al-Hasan Al-Basrah ini
termasuk sebagai tokoh teologi, ketika Washil Ibn Atha menyatakan pendapatnya
tentang kedudukan pembuat dasa besar. Selain sebagai alim besar, ia juga zahid
besar. Oleh sebab itu, ia dipandang kaum sufi sebagai imam mereka.
Al-Hasan Al-Basri melihat
dunia ini seperti ular yang halus dalam genggaman tangan, tetapi racunnya
membawa pada maut. Oleh sebab itu, ia menganjurkan agar orang menjauhi hidup
kedunuiaan. Dalam hubungan ini, ia pernah berkata:
Aku zahid terhadap dunia
ini karena ingin dan rindu pada akhirat. Selanjutnya ia mengatakan, bersikaplah
terhadap dunia ini seolah-olah engkau tak pernah berada di atasnya, dan
bersikaplah terhadap akhirat seolah-olah engkau tidak akan keluar dari
dalamnya. Jualla hidup duniamu untuk memperoleh hidup akhirat, pasti keduannya
akan engkau peroleh. Tapi janganlah jual akhiratmu untuk memperoleh hidup
dunia, pasti keduanya akan lenyap dari tanganmu. Pada bagian lain ia
mengatakan, “berbahagialah orang yang tidak mementingkan kepentingan dirinya,
dan bersikap sabar semata-mata karena Allah dan bukan karena ingin masuk
surga.”
2. Ibrahim Ibn Adham
Ibrahim Ibn Adham lahir di Mekkah, ketika kedua orangtuanya
melaksanakan ibadah haji. Ayahnya Adham adalah raja dari Balkh. Dengan
demikian, Ibrahim Ibn Adham adalah anak seorang raja yang berubah menjadi zahid
(sufi).
Menurut sebuah riwayat, bahwa perubahan itu terjadi, ketika sedang
berburu, ia mendengar suara: “Engkau bukanlah diciptakan untuk ini”. Adapun
riwayat lain mengatakan bahwa, perubahan ini terjadi akibat suatu mimpi. Dalam
mimpi ini ia mendengar orang berjalan di atas istananya. Atas pertanyaan, orang
itu menjawab: “Aku orang yang engkau kenal. Untaku hilang dan aku sedang
mencarinya.” Bertanya Ibrahim : “bagaimana engkau dapat mencari unta yang
hilang di atap istana?” ujar orang itu: “Hai Ibn Adam bagaimana engkau dapat
mencari Tuhan dalam Istana Raja?”
Mendengar suara seperti itu, Ibrahim meninggalkan kerajaannya dan
selanjutnya ia hidup sebagai zahid. Ia pindah dari suatu tempat ke tempat lain
dan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk mencari belanja hidup.
Mengenal paham tasawuf dapat dilihat dari ucapannya:
“Cinta kepada dunia menyebabkan orang menjadi tuli serta buta dan
membuat ia menjadi budak.”
“Kemiskinan (al-faqr) adalah harta yang disimpan Tuhan di surga dan
yang tidak dianugrahkan-Nya kecuali kepada orang-orang yang dicintai-Nya.”
“Orang yang berserah diri kepada Tuhan adalah orang besar dan
berkuasa; lapar dan dahaganya akan hilang dan akalnya akan meninggi di atas
dunia.”
“Orang kaya di dunia ini akan menjadi miskin di akhirat, dan yang
miskin di dunia akan menjadi kaya di akhirat. Tuhan tidak akan mengadakan
perhitungan dengan yang miskin. Perhitungan akan dilakukan-Nya terhadap orang
kaya.”
“Engkau tahu Tuhan, bahwa surga bagiku tak berharga walaupun sebesar
agar. Jika Engkau terima aku jadi teman-Mu dan Engkau curahkan kepada cinta-Mu,
maka hadiahkanlah surga kepada siapa yang Engkau kehendaki”.
Ketika kepadanya disampaikan bahwa ada orang yang belajar tata bahasa,
ia menyahut: “lebih baik baginya belajar diam.”
3.
Rabiah Al-‘Adawiyah
Ia lahir di Baghdad (714
M), dan meninggal di tahun 801 M. Kedua orangtuannya meninggal sewaktu ia masih
kecil dan kemudian ia dijual sebagai bidak. Tetapi pada akhirnya ia peroleh
kebebasan kembali. Setelah dibebaskan ia pergi kepadang pasir dan memilih hidup sebagai zahi.
Rabiah hidup dalam
kemiskinan dan ketika teman-temanya ingin membantunya, ia menolak bantuan
mereka. Salah seorang dari mereka memberi rumah kepadanya. Ia mengatakan “aku
takut kalau-kalau rumah ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam
amalku untuk akhirat.” Kepada seseorang yang mengunjunginya ia memberi nasihat:
“Pandanglah dunia ini sebagai sesuatu yang hina dan tak berkah; itu lebih baik
bagimu.” Lebih lanjit ia mengatakan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena
takut masuk atau bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi karena cintaku
kepada-Nya.” Dalam dialognya dengan Tuhan ia mengatakan:
Kekasih hatiku hanyalah
Engkau yang kucintai. Beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke
hadirat-Mu. Engkau harapan, kebahagiaan, dan kesenangan. Hati telah enggan
mencintai selain dari diri-Mu.
Cinta Rabiah kepada Tuhan
begitu memenuhi jiwanya sehingga di dalamnya tidak ada ruangan lagi untuk cinta
kepada yang lain, bahkan untuk rasa benci kepada setan pun tidak ada tempatnya
lagi. Konsep cinta kepada Tuhan ini sejalan dengan ayat 54 dari surat al-Maidah
yang artinya: “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang
mencintai-Nya.” Dan ayat 30 surat Ali ‘Imran yang artinya: “Katakanlah jika
kamu cinta pada Tuhan turutlah aku, pasti tuhan cinta padamu.”
Dengan demikian, dapat
diketahui, bahwa paham tasawuf yang dimajukan Rabiah al-‘Adawiyah adalah paham
mahabah yang senantiasa didampingi oleh paham al-ma’rifat. Al-Mahabbah dan
al-ma’rifat merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya
menggambarkan hubungan rapat yang ada antara sufi dan Tuhan. Pertama
menggambarkan rasa cinta dan yang kedua menggambarkan keadaan mengetahui Tuhan
dengan hati sanubari. Al-ma’rifat tidak sama dengan al-‘ilm. Kata al-ma’rifat
diperoleh dengan hati sanubari, al-‘ilm diperoleh dengan akal, maka al-ma’rifat
yang hanya diperoleh kaum sufi tidak diperole4h begitu saja, tetapi bergantung
pada rahmat Tuhan. Untuk mendapatkan ma’rifat, hati seorang sufi harus dibuka
Tuhan dan tabir yang ada antara sufi dan Tuhan harus dihilangkan terlebih dulu.
Dalam al-ma’rifat sufi telah berhadap-hadapan dengan Tuhan. Dengan kata lain,
sufi telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya.
4.
Zunnun Al-Misri
Ia lahir di Mesir Selatan. Tanggal lahirnya tidak diketahui, tetapi ia
meninggal pada 859 M. selain sbagai seorang sufi, ia juga sebagai ahli ilmu
pengetahuan dan filsafat. Menurut sejarah, ia juga tercatat sebagai orang yang
dapat membaca huruf hieroglifyang ditinggalkan zaman Fir’aun di Mesir. Atas
tuduhan sebagai pembawa ajaran yang bertentangan dengan islam, ia pernah
ditangkap dan dibawa ke depan khalifah di Baghdad. Namu setelah menengar
ucapannya, khalifah merasa begitu terharu sehingga tidak dapat menahan air
mata. Ia kemudian dibebaskan.
Dalam tasawuf Zunnun al-Misri
dikenal sebagai pembawa paham ma’rifat. Menurutnya, bahwa ma’rifat adalah
cahaya yang dilontarkan Tuhan kedalam hati seorang sufi. “orang yang tahu Tuhan
tidak mempunyai wujud tersendiri tetapi berwujud melalui wujud Tuhan”.
5.
Abu Yazid Al-Bustami
Ia
lahir di Persia (874 M), dan meninggal dalam usia 73 tahun. Ibunya dikenal
sebagai seorang zahid dan Abu Yazid sangat patuh kepadanya. Sekalipun
orangtuanya tergolong pemuka masyarakat yang berada di Bistam, namun Abu Yazid
memilih jalan hidup sederhana dan menaruh sayang serta kasih kepada fakir
miskin. Ia termasuk sufi yang jarang keluar dari Bistam, dan ketika kepadanya
dikatakan, bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpondah dari satu tempat
ke tempat lain, ia menjawab : “Temanku (maksudnya Tuhan) tidak pernha bepergian
dan oleh karena itu aku pun tidak bergerak dari sini”. Sebagian besar waktunya
digunakan untuk beribadat dan memuja Tuhan.
Dalam
sejarah, Abu Yazid dikenal sebagai sufi yang membawa paham al-fana’ dan
ala-baqa’ sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tentang bagaiamana ia sampai pada
al-fana’, ia jelaskan bahwa pada suatu malam, kia bermimpi dan bertanya :
“Tuhanku apa jalannya untuk samapu kepada-Mu? Tuhan menjawab : “Tinggalkan
dirimu dan datanglah!”. Dengan berusaha meninggalkan diri itu maka sampailah
kita pada al-fana’. Ia mengatakan : “Tuhan membuat aku gila pada diriiku hingga
aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya dan akupun hidup… akupun
berkata : “Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada diri-Mu adalah kelanjutan
hidup".
Dengan
tercapainya al-fana’ dan al-baqa’ itu sampailah Abu Yazid kepada al-ittihad.
Dalam tingkat ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan. Yang
mencintai dan dicintai telah menjadi satu. Identitas yang mencintai telah hilang.
Identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan karena fana’-nya telah tak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Did dalam al-ittihad
yang disadari hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud. Yang
disadari hanyalah wujud Tuhan.
6.
Al-Hallaj
Nama
lengkapnya Husein Ibn al-Hallaj. Ia lahir dikota Al-Baida’ di Iran Selatan (858
M). Kemudian ia pindah ke Irak. Sejak usia muda ia telah memasuki jalan sufi
dan menjadi murid sufi-sufi kenamaan di Baghdad. Ia banyak melakukan
perjalanan. Misalnya ia pernah ke Mekkah dank e India. Ia dituduh memiliki
hubungan dengan golongan Syi’ah ekstrem, kaum Qaramitah yang banyak menentang
Pemerintah bani Abbas.
Menurut
pendapatnya, bahawa Tuhan memiliki sifat kemanusiaan dan manusia sendiri
memiliki sifat Ketuhanan, nasut dan lahut. Dasar pandangannya ini didasarkan
pada hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya : “Tuhan menciptakan Adam menurut
bentuk-Nya”.
Dengan
dasar pemahaman tersebut, maka antara manusia dan Tuhan dapat terjadi
persatuan. Filsafat persatuan yang dibawa al-Hallaj ini disebut al-hulul, yaitu
paham yang mengatakan, bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat didalamnya. Tetapi untuk itu seorang sufi harus terlebih
dahulu menghancurkan sifat kemanusiaannya sehingga yang terdapat dalam dirinya
hanyalah sifat ketuhanan.
Pada
saat tercapainya al-hulul ini, maka yang keluar dari mulut al-Hallaj adalah
ucapa Ana al-Haqq. Yang dimaksudnya dengan Ana al-Haqq ini bukanlah dirinya,
karena selanjutnya ia mengatakan : “Aku adalah rahasia dari yang Mahabesar,
bukanlah yang Maha besar itu aku; aku hanya salah satu yang benar, oleh karena
itu bedakanlah antara kami”.
Dengan
demikian, sebagai hanlnya dengan Abu Yazid, al-Hallaj, ketika mengucapkan Ana
al-Haqq sedang dalam keadaan fana, hancur kesadarannya, dan yang berbicara
memakai nama Tuhan bukanlah al-Hallaj.
7.
Ibn ‘Arabi
Nama
lengkapnya adalah Muhy al-Din Ibn ‘Arabi. Ia lahir di Murcia, Spanyol (1165 M),
dan meninggal di Damsyrik pada 1240 M. di masa muda ia belajar ilmu tasawuf di
samping pengetahuan lain. Kemudian ia mengadakan perjalanan ke dunia Islam
bagian timur, mengnjungi Mesir, Syiria, Irak, Mekkah, dan kahirnya menetap di
Damsyrik. Bukunya yang terkenal dalam bidang tasawuf yaitu al-Futuhat al-Makkiyah (Pengetahuan pengetahuan yang Dibukakan di
Mekkah), yang tersusun atas dua belas jilid, serta Fusus al-Hikam (Permata-permata Hikmah).
Dalam
bidang tasawuf Ibn ‘Arabi membawa paham wahdat al-wujud (jesatuan wujud). Dalam
paham ini , nasut al-Hallaj diubah oleh Ibn ‘Arabi menjadi khalq (makhluk), dan
lahut menjadi al-Haqq (Tuhan). Dengan demikian, dalam tiap makhluk (bukan hanya
manusia) terdapat aspek ketuhanan. Aspek dalam atau batin inilah yang
terpenting dan itulah yang merupakan esensi dari tiap makhluk.
Selain dari tujuh orang sufi
tersebut, sesungguhnya masih terdapat sufi-sufi lain, seperti al-Junaid yang
membawa paham al-fana’, yakni bahwa Tuhan membuat seorang fana’, hancur, atau
kehilangan kesadaran dirinya untuk masuk ke dalam diri Tuhan yang kekal dan
abadi; Ibn al-Farid yang membawa paham al-haqiqah al-Muhammadiah (konsep
Muhammad); dan masih banyak lagi.
E. Fungsi
Tasawuf
Terdapat sejumlah
alasan tentang sebab-sebab meningkatnya masyarakat modern terhadap tasawuf,
sebagai berikut :
Pertama, salah satu
ciri kehidupan masyarakat modern ialah terlalu mengandalkan kekuatan akal dan
fisik, atau hanya mengakui sesuatu yang masuk akal dan tampak dalam pandangan,
yang selanjutnya kelahiran paham rasionalisme, empirisme, positivisme,
sekularisme, hedonisme, dan pragmatisme. Paham yang demikian sangat merugikan
keuntungan manusia sebagai makhluk yang selain memiliki pancaakal dan
pancaindra, juga memiliki hawa nafsu, al nafs, qalb, fu’ad, ruh, sirr, dzauq,
dan lainnya. Berbagai potensi rohaniah ini sesuatu yang real yakni ada dengan
sesungguhnya, sebagaimana juga akal dan fisik. Akibat dari keadaan hidup yang
hanya mengutamakan akal dan pancaindra ini, maka manusia menjadi robot, dan
mesin yang kehilangan keutuhannya. Akibat dari keadaan yang demikan, manusia
menjadi manusia yang utuh, merasa
terasing, kesepian, rapuh, tidak punya pilihan dan pegangan hidup yang kukuh,
yakni nilai-nilai spiritual yang berasal dari Allah swt. Untuk menyelamatkan
keadaan yang demikian perlu adanya ajaran tasawuf.
Kedua, masyarakat modern yang bergerak dalam bidang jasa dan
industri dengan berbagai aneka ragamnya semakin memerlukan nilai-nilai
spiritual yang dapat memberikan bekal dan pegangan yang kukuh bagi usahanya
itu. Menjadi sufi di masa modern saat ini tidak mesti bertapa di gunung, atau
mengisolasi diri ketempat yang sunyi, atau membiarkan hidup miskin dan
sengsara. Pandangan tasawuf yang demikian itu kini telah diganti dengan
pandangan tasawuf yang transformatif dan integratied, yaitu nilai-nilai tasawuf
seperti kesederhanaan, kejujuran, keikhlaan, kehati-hatian, kesabaran,
keteguhan dalam prinsip, kepercayaan yang teguh pada tuhan, keyakinan pada
janji Tuhan dan nilai-nilai ajaran tasawuf lainnya ternyata sangat dibutuhkan
dalam mengelola berbagai usaha bisnis di Zaman modern.
Ketiga, ajaran selalu dekat dengan Allah sebagaimana yang di
ajarkan dalam tasawuf dan kesungguhan dalam membersihkan diri dari dosa serta
kesungguhan mencari keridhoan Allah swt. Saat ini ternyata digunakan dalam
proses penyembuhan berbagai penyakit. Masyarakat modern saat ini sekarang sudah
mulai sadar, bahwa diantaranya penyakit ada yang penyebabnya adalah karena
hubungan yang tidak baik dengan Tuhan. Oleh karena itu, proses penyembuhannya
dapat dilakukan dengan mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebagaimana yang
diajarkan dalam tasawuf.
Keempat,
bahwa jumlah orang yang gelisah, pikiran kacau, setres dan gejala penyakit jiwa
lainnya saat ini makin banyak jumlahnya. Keadaan jiwa yang demikian itu
menyebabkan produktivitas kerjanya menurun dan ketentraman hidup makin
terancam. Masyarakat modern yang demikian itu makin membutuhkan sentuhan rohani
dan pencerahan spiritual yang dapat mengembalikan kehidupannya menjadi lebihn
nyaman, tenang, tenteram, damai, dan harmonis yang selanjutnya amat dibutuhkan
guna meningkatnya produktivitasnya.
A.
Kesimpulan
Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan
perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat
menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf
memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya
inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan
disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai
pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi
sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri).
Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya
akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya
karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap
langkah perbuatannya.
B.
Saran
Sebaiknya masyarakat memahami ilmu tasawuf lebih medalam
yang sesuai dengan ajaran Islam agar tak mudah terjebak pada aliran tasawuf
yang menyimpang.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar